Google Search

Curhat Ahtisaari

Dari Kolom Analisis Harian Aceh

Baru-baru ini seorang mantan juru runding GAM di Helsinki mendapat surat dari Martti Ahtisaari, Direktur Crisis Management Initiative (CMI). Dalam surat itu, Ahtisaari mencurahkan isi hatinya yang kecewa. Kekecewaan yang membuatnya terpaksa membatalkan kunjungan ke Aceh pada Maret tahun ini. Padahal rencana kunjungan ke Aceh tahun 2010 memang telah dijadwalkan setahun lalu. Sesuai rencana ia akan berkunjung pada Maret dan Agustus 2010.  
Tahun ini Ahtisaari akan melakukan beberapa pekerjaan istimewa untuk Aceh, maka tidak seperti biasanya, ia berniat mengunjungi Aceh dua kali. Hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Barangkali dia merasa meski telah berjalan 4 tahun tetapi terlalu banyak persoalan penting terkait perdamaian Aceh yang belum terselesaikan. Dari persoalan tapol napol GAM yang masih mendekam dalam penjara, koreksi Undang-undang Pemerintahan Aceh, hingga KKR dan pengadilan HAM. 
Sisi lain, Ahtisaari telah memberitahukan para pemimpin Aceh dalam kunjungan terakhirnya tahun lalu bahwa ia segera meninggalkan masalah Aceh. Perhatian Ahtisaari terhadap Aceh hanya sampai 2012, setelah itu dia akan mengurus proyek-proyek perdamaian di belahan dunia lain. “Terlalu banyak masalah di dunia ini, saya tidak mungkin mengurus masalah Aceh selamanya” kata Ahtisaari dalam kunjungannya tahun lalu di depan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf.  
Dalam waktu tiga tahun lagi, Ahtisaari berharap dapat membantu akselerasi penyelesaian masalah-masalah penting terkait perdamaian Aceh untuk memastikan kedua belah pihak (GAM dan RI) menunaikan seluruh kewajiban masing-masing. Itulah sebabnya dalam kunjungannya tahun lalu dia minta pemimpin GAM dan Gubernur Aceh menyerahkan dokumen tertulis kepadanya tentang apa saja kewajiban Pemerintah RI yang belum dilaksanakan sesuai MoU Helsinki. Demikian informasi yang saya dapatkan dari sumber terpercaya. 
Sayangnya, GAM dan Gubernur Aceh lebih terlatih mengeluh secara lisan tentang perilaku-perilaku pemerintah RI yang menghambat agenda-agenda perdamaian. Tentu saja Ahtisaari butuh dokumen resmi, baik dari GAM maupun dari Pemerintah Aceh yang bisa  dipelajari dan dijadikan rujukan ketika CMI hendak merumuskan langkah-langkahnya sebagai mediator perundingan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang- dianggap oleh GAM dan Pemerintah Aceh sebagai pelanggaran Pemerintah RI terhadap MoU Helsinki.  
Ternyata GAM dan Pemerintah Aceh—yang dalam banyak kesempatan mengeluhkan kelambanan Pemerintah RI menunaikan beberapa kewajibannya—lebih terlihat perkasa saat keluhan itu dijelaskan pada rakyat Aceh, karena rakyat mudah dipuaskan hanya dengan kritik-kritik liar ala warung kopi. Namun, GAM dan Pemerintah Aceh terlihat ‘loyo’ tak berkutik, ketika Ahtisaari meminta catatan tertulis yang memenuhi syarat sebagai dokumen resmi yang baik.  
Sehingga dalam sebuah pertemuan dengan Gubernur Aceh Irwandi, Ahtisaari terpaksa tegas, “Saya ingin melihat catatan tertulis dari anda, sebutkan satu saja kewajiban Pemerintah RI dalam MoU Helsinki yang belum mereka laksanakan,” ujar Ahtisaari, sebagaimana dikutip salah seorang yang hadir dalam pertemuan itu. Karena Irwandi tidak menyiapkannya, maka Ahtisaari meminta Gubernur Aceh itu memberikan catatan tersebut ketika Ahtisaari berkunjung ke Aceh pada 2010. Sepertinya Irwandi harus diberikan PR (pekerjaan rumah), agar terbiasa mengajukan penilaiannya tentang perdamaian Aceh secara tertulis, terutama terkait kewajiban-kewajiban Pemerintah RI yang belum ditunaikan. 
Hal ini sungguh ironis, mengingat publik Aceh selalu diyakinkan oleh Irwandi bahwa beberapa kegagalan pembangunan di bawah pemerintahannya dalam beberapa hal sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia yang tidak sesuai dengan amanah MoU Helsinki atau UUPA No 11 tahun 2006. Sehingga sebagian orang menyarankan agar Pemerintah Aceh “tidak menyalahkan lantai yang tidak rata jika memang tak pandai menari”, alias jangan suka mengkambinghitamkan Jakarta setiap membuat kesalahan dalam pembangunan Aceh.  
Dalam hal ini, tentu saya tidak hendak mengatakan Pemerintah RI tidak boleh disalahkan, tetapi mengapa Pemerintah Aceh tidak mampu menjawab permintaan Ahtisaari? Mengapa Irwandi perlu diberikan PR untuk membuat hal-hal yang semestinya ia lakukan jauh-jauh hari, baik dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pemerintah Aceh maupun sebagai politisi GAM.  
Sepertinya PR yang diberikan Ahtisaari kepada Irwandi, juga diberikan kepada Malik Mahmud sebagai Perdana Meuntro GAM. Setelah beberapa bulan berjalan selepas PR itu diberikan, kini Ahtisaari mengirimkan surat kepada keduanya (Irwandi dan Malik Mahmud). Merujuk pada curhatnya kepada salah seoarang mantan juru runding GAM, Ahtisaari merasa sangat kecewa karena suratnya itu tidak dipedulikan oleh Irwandi dan Malik Mahmud. Ia tidak mendapat respon apapun hingga terpaksa membatalkan rencana kunjungannya ke Aceh pada akhir bulan Maret, tahun ini.  
Tidak ada yang tahu mengapa Irwandi dan Petinggi GAM tidak merespon surat Ahtisaari, mungkin saja karena PR yang ia berikan tahun lalu belum dikerjakan hingga kini. Irwandi dan Petinggi GAM pun tahu bahwa Ahtisaari tidak akan membahas apapun selama berada di Aceh jika di tangannya belum ada dokumen resmi yang ia minta dari GAM dan Pemerintah Aceh. Dan memang, jika PR itu belum dikerjakan, sebaiknya Ahtisaari tidak perlu membuang masanya berkunjung ke Aceh.   
Lalu sebagai rakyat kita patut prihatin sambil bertanya, jika demikian apa yang bisa dilakukan untuk menyempurnakan pelaksanaan MoU Helsinki dalam tiga tahun ini selama CMI masih belum lepas tangan? Pasti tidak akan ada hal yang menggembirakan selama Pemerintah Aceh dan pemimpin GAM lebih bangga menemui elit-elit Jakarta ketimbang membuat komplain secara profesional atas segala pelanggaran-pelanggaran perjanjian yang dilakukan Pemerintah Jakarta.   
Masa depan MoU Helsinki bertambah runyam setelah CMI menyatakan proyeknya di Aceh telah usai. Saat ketika elit-elit Aceh berkompetisi datang berduyun-duyun, sujud bersimpuh di hadapan pejabat-pejabat Jakarta. Perjuangan generasi ini segera tamat dengan tragis.[]
#

Artikel Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan disini,
Terimakasih atas Kunjungan anda

TENTANG YANG POENYA BLOG INI

Foto saya
Banda Aceh, Aceh, Indonesia
Dilahirkan di Gampong Pedalaman Aceh, Menempuh Pendidikan Sampai Tingkat SMA disana, Pindah dan Merantau Ke Banda Aceh. Saat ini berdomisi di Jakarta. Berminat pada kajian isu-isu sosial, ekonomi, politik. Bercita-cita Menjadi Pengusaha sekaligus politisi profesional Yang Senantiasa Akan Berjuang Untuk Mewujudkan Peradaban Yang Lebih Baik.