Google Search

Perang Belanda, Snouck Hourgronje dan Jenggotan Kampus

Oleh Irwansyah Putra Psa

Perang yang di deklarasikan Belanda kepada Sultan Negara Aceh di atas kapal perang Citadel van antwerpen. pada tanggal 26 maret 1873 dengan Ambisi besar menundukkan Aceh, ternyata gagal. Banyak jenderal dan perwira mereka terbunuh sia-sia diujung pedang dan gelewang pejuang Aceh yang begitu kentara semangat nasionalisme keacehan dan agamanya. Belanda menjadi gamang, segala usaha menundukkan Aceh gagal.

Perang Aceh dengan Hindia Belanda yang berlangsung hampir setengah abad telah menelan korban yang banyak di kedua belah pihak. Belanda telah mengucurkan jutaan gulden untuk membiaya perang itu. Akibatnya,
Hindia-Belanda mengalami defisit anggaran, kritik perang besar ini, terus digulirkan parlemen negeri Belanda, ada yang meminta menarik mundur, bahkan tak sedikit pula suara-suara sumbang yang meminta untuk menghancurkan Aceh.

Bagi Belanda menarik pasukan adalah sesuatu yang sangat memalukan, karenanya Belanda terus belajar atas kegagalannya, mereka mengubah taktik perang, dari perang yang hanya sekedar tempur menjadi perang yang komprehensif, Belanda mendatangkan antropolog ke Aceh untuk mendalami Aceh.


Tersebutlah nama Christian Snouck Hourgoranje, anak seorang pendeta Kristen, seorang professor bidang antropologi. Ia pernah mendalami islam untuk waktu yang lama di Mekkah, serta punya kemampuan mentafsirkan Al-qur’an dengan baik. Secara kapasitas ilmu; layak disebut ulama. Walau dalam kenyataan yang sesungguhnya dia munafik. Buktinya, ia pernah menjadi imam shalat di Mesjid Raya Baiturrahman, namun sampai kematiannya di Belanda ia tak pernah sekalipun mengakuikeislamannya.

Snouck? Ya, bagi orang Aceh dialah Belanda jenggotan. Jenggot dan surban serta pengetahuan keislamannya yang mencoba melompat zaman, telah mengecohkan rakyat Aceh. Para pemuka Aceh yang terdiri dari teungku (bukan ustoz) dan umara pada tahun-tahun perang telah begitu saja percaya pada ajaran Snouck, dengan kemampuannya mentafsirkan Al-quran. Karena kemampuannya itu, snouck mendapat tempat dalam kehidupan keislaman di Aceh, bahkan ia diberi akses besar untuk mengajarkan pemahaman-pemahaman agamanya.

Dalam konteks perang, Snouck memakai islam sebagai pendekatan untuk menundukkan Aceh. Ia menyebarkan pahamnya “dunia adalah anjing”, supaya pemuka agama di Aceh tidak lagi memperjuangkan hak-hak rakyat dan melupakan kondisi sosial masyarakat yang sedang dijajah. Jadilah agama hanya urusan ibadah shalat, zikir melarang khalwat, meisir dan judi, sementara ekploitasi terhadap kekayaan alam Aceh dianggap buet donya (perbuatan dunia). Padahal sebelum kedatangan Belanda, dayah-dayah bukan hanya tempat belajar fiqh saja, ia juga berfungsi sebagai wadah pelatihan angkatan bersenjata dan pendidikan bagi kepentingan kesejahteraan umat hidup didunia.

Snouck mahfum, jika rakyat Aceh yang kuat semangat agamanya, anti penjajahan (mengharamkan ekploitasi sumberdaya alamnya serta mengharamkan rakyatnya dibunuh dan diperintah kaphe) hanya dapat dijinakkan dengan membelokkan pemahaman agama mereka, maka gampanglah sudah menjajah Aceh. Snouck menggunakan serdadu marose untuk melarang pembelajaran kitab Tajul Balaghah. Satu kitab yang mengajarkan fiqh politik dan tata negara. Snouck yakin jika orang Aceh tidak lagi memahami agamanya secara menyeluruh (kaffah), tidak musykil rakyat bisa dibodohi, begitulah Snouck punya mimpi.

Itulah sekelumit romantisme perang Aceh (1873-1942). Bedanya sekarang, kita tidak lagi di masa perang. Namun, ajaran Snouck “dunia adalah bangkai barang siapa mengejar dunia adalah anjing” ternyata masih berbekas. hari ini masih ada diantara kelompok-kelompok agama di Aceh yang terpengaruh olehnya. Betapa, agama hanya digunakan sebagai urusan akhirat, tapi kemudian dia dapat juga menjelma sebagai alat politek kekuasaan,- aneh.

Siapa New Snouck itu?

Snouck boleh saja mati se-abad yang lalu tapi bagaimana dengan ajaran pembelokan Agamanya di Aceh?. Tentang snouckis (penganut snouck) saya mengkaji prilaku kelompok agama tertentu. penyebaran kelompok ini hampir merata disemua Universitas se-Aceh.

Kelompok agama tersebut adalah jenggotan kampus. Istilah jenggotan kampus adalah lakap untuk mengidentifikasi suatu aliran keberagaman di dalam kampus yang mengedepakan pemeliharaan jenggot dan simbol-simbol agama dalam kesehariaannya.

Untuk lebih mendalam kita dapat tilik isu dan pola gerakan mereka. Ada perilaku keber-agamaan ala snouck yang begitu kentara dalam inti prilaku mereka. Kaum jenggotan kampus hanya bersuara ke ruang publik melalui demonstrasi-demonstrasi sekedar urusan tajwid al-quran, khalwat, meisir, cambuk dan lain-lain yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan penegakan daulah islamiah di Aceh secara kaffah. Celakanya lagi; mahasiswa tersebut merupakan guda politek dari sebuah partai aliran politik tertentu.

Disinilah nampak kesamaan ciri antara jenggotan sekarang dengan Belanda Jenggotan alias Snouck. Jika snouck bertujuan membelokkan agama orang Aceh untuk tidak melawan kekuasaan Belanda. Nah lembaga jenggotan dikampus nampak membelokkan prilaku agama mahasiswa Aceh untuk tidak melawan kezaliman kekuasaan (menyeluruh), disinilah konsepsi titik temu ajarannya.

Tengok saja pola gerakan kaum jenggotan kampus, mereka tidak pernah mau menyentuh wilayah pembelaan terhadap rakyat, apalagi kalau itu ada resikonya. Misalkan; ketika terjadi penggusuran terhadap pedagang kecil, pemukulan rakyat oleh aparat, mereka juga tak mau ambil pusing tentang keadilan bagi korban konflik. Kaum Jengotan justru sibuk dengan agenda anti meisir dan khalwat. Nampak terang, keislamanan mereka hanya untuk syariat yang tak punya resiko, urusan-urusan yang membela kepentingan rakyat dari penindasan (dan itu juga ajaran islam) dianggap buet donya dan haram. Kecuali untuk kampanye partai politek bagi kekuasaan mereka, lantas kemudian menjadi perintah jihad. Kan lucu?

Pertanyaannya sekarang bolehkah untuk kaum jenggotan kampus karena memiliki atribut serta ciri yang sama dengan Snouck, saya sebut “New Snouck Hourgronje” dalam tulisan ini?

(tulisan ini, sebelum mengalami pengeditan pernah dimuat di Majalah SumberPost IAIN-Ar-Raniry) #

Artikel Terkait



2 comments:

rudi mengatakan...

nyan tulesan yang mantap..

Salamudin mengatakan...

ada benar juga ya tulisan saudara.
Snouck memang pernah menjadi penasehat sekaligus mengajar peham agama di wilayah Hindia Belanda dan Aceh

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan disini,
Terimakasih atas Kunjungan anda

TENTANG YANG POENYA BLOG INI

Foto saya
Banda Aceh, Aceh, Indonesia
Dilahirkan di Gampong Pedalaman Aceh, Menempuh Pendidikan Sampai Tingkat SMA disana, Pindah dan Merantau Ke Banda Aceh. Saat ini berdomisi di Jakarta. Berminat pada kajian isu-isu sosial, ekonomi, politik. Bercita-cita Menjadi Pengusaha sekaligus politisi profesional Yang Senantiasa Akan Berjuang Untuk Mewujudkan Peradaban Yang Lebih Baik.