Google Search

Aceh ; Komplikasi Pasca Konflict

Aceh: Komplikasi Pasca Konflict

RINGKASAN IKHTISAR DAN REKOMENDASI

Situasi damai di Aceh masih terus bertahan. Tetapi meskipun pemerintah Yudhoyono dan banyak kalangan di Jakarta melihat hal ini sebagai sebuah cerita yang berakhir dengan happy ending, banyak warga Aceh yang menganggap hal ini hanya sebagai istirahat sementara dari sebuah konflik yang tidak dapat dielakkan akan terjadi lagi. Tingkah perilaku sejumlah pejabat GAM yang terpilih melalui pilkada dan para mantan anggota pasukan GAM menjadi salah satu alasan membayangnya pesimisme: para pemilih di Aceh tampaknya telah mengganti elite korup yang satu dengan yang lain. Pemerasan, perampokan dan illegal logging (penebangan liar) yang melibatkan para mantan anggota pasukan GAM – meskipun mereka bukanlah satu-satunya pelaku – menjadi alasan keprihatinan, dan program reintegrasi yang awalnya dimaksudkan untuk membantu para mantan anggota tempur GAM secara ekonomi telah dinodai oleh tujuan yang tidak jelas, serta kurangnya strategi dan keabsahan akuntabilitas. Tetapi masalah yang belum selesai antara Aceh dan Jakarta merupakan bom waktu yang sebenarnya, dan kedua belah pihak perlu membentuk sebuah forum yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini.

Terpilihnya anggota GAM sebagai pejabat propinsi dan kabupaten pada bulan Desember 2006 telah membantu menciptakan sebuah jaringan patronase yang menguntungkan: pekerjaan dan kontrak jatuh ke tangan sang pemenang. Namun demikian, tingkat pengangguran diantara para mantan pasukan GAM masih tetap tinggi dan mungkin menjadi salah satu faktor sejumlah insiden yang melibatkan cara-cara ilegal untuk mendapat uang dengan cepat. Badan Reintegrasi Aceh atau BRA sudah disfungsional sejak pertama kali dibentuk. Kepemimpinan yang baru sejak bulan April 2007 dan orientasi yang baru sejak bulan Agustus mungkin dapat menghadapi beberapa dari persoalan manajemen; namun apakah arah yang baru ini akan dapat memfasilitasi rekonsiliasi atau malah semakin mempolarisasikan masyarakat masih belum jelas. Tak seorangpun, termasuk para donor, tampaknya memiliki gagasan yang jelas mengenai apakah dana reintegrasi merupakan hak dibawah perjanjian damai Helsinki tahun 2005, sebuah instrumen bagi upaya rekonsiliasi masyarakat, kompensasi bagi kerugian di masa lalu, atau alat pemberdayaan ekonomi bagi individu-individu. Dugaan-dugaan adanya penyebaran uang yang tidak merata telah semakin memecah belah GAM yang sebelumnya memang sudah tidak bersatu dan terdesentralisasi.

Keretakan politik yang timbul sebelum pilkada antara para pemimpin yang berada di pengasingan di Swedia yang dipimpin oleh Malik Mahmud dan generasi yang lebih muda yang dipimpin oleh Irwandi Yusuf (sekarang menjadi gubernur Aceh) dan sejumlah komandan lapangan, telah menjadi semakin dalam. Dalam persiapan menjelang pemilu tahun 2009, para pendukung GAM mungkin telah mendaftarkan paling sedikit tiga partai yang berbeda. Salah satu dari partai tersebut yang telah menimbulkan kekuatiran besar di Jakarta, yang disebut “Partai GAM” dengan bendera pro-kemerdekaan sebagai simbolnya, sebenarnya hanya mewakili faksi minoritas Malik.

Namun, perselisihan internal malah akan reda, jika persoalan dengan Jakarta memanas. Dua masalah utama yang dapat menyebabkan hal itu terjadi menjelang pemilu, yaitu: operasi intelijen untuk memperkuat kekuatan “anti-separatis” dan tekanan dari GAM, kalau diterapkan secara tidak strategis, terhadap implementasi sepenuhnya dari nota kesepahaman Helsinki. Para pemimpin GAM punya kekhawatiran yang beralasan mengenai ketetapan dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang disahkan pada pertengahan 2006 yang melemahkan prinsip-prinsip pokok dari nota kesepahaman tersebut. Beberapa dari kekhawatiran ini bisa dan harus diselesaikan melalui sebuah mekanisme yang memungkinkan untuk melakukan dialog tingkat tinggi dan membahas persoalan-persoalan, terutama karena mereka berhubungan dengan kewenangan dan fungsi pemerintah otonomi Aceh. Tetapi para pemimpin GAM juga harus menyadari bahwa mencoba untuk mengajukan amandemen bagi UUPA dalam suasana menjelang pemilu malah mungkin akan seperti main api.

Sementara dialog berlangsung, para pemimpin GAM harus memusatkan perhatian kepada tugas-tugas menjalankan pemerintahan, memberi hasil dan manfaat yang nyata kepada warga Aceh dan mengendalikan para pendukung mereka, daripada melemparkan seluruh kesalahan atas kurangnya kemajuan kepada Jakarta. Sementara itu pemerintah pusat perlu menjamin bahwa badan intelijennya menahan diri dari kecenderungan mereka untuk turut campur.

REKOMENDASI KEPADA:

Para pejabat GAM di Aceh:

1. Mengurangi waktu bepergian ke Jakarta dan luar negeri dan memusatkan perhatian pada upaya meningkatkan pelayanan pemerintah.

2. Mengembangkan dan menerapkan tujuan yang spesifik berdasarkan kinerja bagi para pejabat pemerintah propinsi dan kabupaten.

3. Menerapkan disiplin yang lebih ketat terhadap anggota yang membelot, terutama di Aceh Utara, dan memastikan bahwa mereka yang diketahui telah terlibat dalam tindak kejahatan diserahkan kepada polisi.

4. Menjelaskan supaya benar-benar dimengerti bahwa mereka tidak akan mentolerir anggota KPA yang menuntut untuk mendapatkan bagian dari dana proyek, dan bahwa laporan yang terbukti atas tuntutan semacam itu akan mengakibatkan tidak diikutkannya oknum-oknum tersebut dari manfaat reintegrasi.

5. Meninggalkan praktek-praktek korupsi di masa lalu dengan memastikan bahwa prosedur dalam pemberian kontrak pemerintah dilakukan secara benar-benar transparan sepenuhnya.

6. Mempertahankan logging moratorium sampai pembaharuan kehutanan yang telah diumumkan sebelumnya diselesaikan.

7. Mengembangkan sebuah strategi untuk mendesak implementasi yang lebih berarti dari MOU Helsinki dengan mempertimbangkan faktor politik Jakarta, dan memahami bahwa kemajuan yang dicapai akan berjalan lambat dan sedikit demi sedikit.

Pemerintah Indonesia:

8. Bekerja sama dengan para pemimpin GAM untuk membentuk sebuah mekanisme dialog yang memiliki mandat yang lebih besar dari Forum Koordinasi dan Komunikasi atau FKK, dan dapat mencari jalan keluar bagi beberapa persoalan yang terkait dengan UUPA, termasuk peninjauan kembali terhadap rancangan peraturan implementasi.

9. Tidak memberi bantuan dana kepada kelompok-kelompok anti-separatis.

10. Berhati-hati dan memastikan bahwa ketika merancang peraturan implementasi UUPA, peraturan-peraturan tersebut akan mencerminkan spirit dari MOU dan mengakui sungguh-sungguh bahwa otonomi bagi Aceh adalah nyata, dan secara kualitatif berbeda dengan propinsi lain.

11. Mengusut dan mengadili oknum-oknum yang telah menjadi beking operasi illegal logging, tidak hanya para pekerja bawahan.

Badan Reintegrasi Aceh dan para donor program reintegrasi:

12. Memakai sebuah tim audit yang independen yang memiliki keahlian tentang Aceh untuk melakukan sebuah penilaian yang mendalam mengenai bagaimana dana-dana reintegrasi telah digunakan serta akibat ekonomi, sosial dan politik dari dana tersebut.

13. Mengembangkan sebuah rencana strategis bagi upaya reintegrasi yang meliputi sebuah pemahaman bersama mengenai apa rancangan itu; menentukan tujuan utama dari berbagai program; menentukan standar kongkrit apa yg harus ditetapkan untuk tahun 2007 dan 2008; dan bagaimana program-program ini sesuai dengan strategi pembangunan yang lebih luas bagi Aceh.

By : CGI

Jakarta/Brussels, 4 Oktober 2007

#

Artikel Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan disini,
Terimakasih atas Kunjungan anda

TENTANG YANG POENYA BLOG INI

Foto saya
Banda Aceh, Aceh, Indonesia
Dilahirkan di Gampong Pedalaman Aceh, Menempuh Pendidikan Sampai Tingkat SMA disana, Pindah dan Merantau Ke Banda Aceh. Saat ini berdomisi di Jakarta. Berminat pada kajian isu-isu sosial, ekonomi, politik. Bercita-cita Menjadi Pengusaha sekaligus politisi profesional Yang Senantiasa Akan Berjuang Untuk Mewujudkan Peradaban Yang Lebih Baik.