Google Search

Hadirkan Auditor Internasional

Banda Aceh, Ekspos
Puluhan mahasiswa yang menamakan diri mereka ALEE (Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Aceh Untuk Kritisi BRR), Kamis (19/4) melakukan aksi unjuk rasa ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) meminta dukungan dewan bagi kehadiran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) internasional untuk melakukan audit secara menyeluruh terhadap dana kemanusiaan yang dikelola Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias.


Setelah melakukan orasi di depan gedung dewan, para pengunjuk rasa akhirnya diterima tiga orang anggota DPRA dari komisi D masing-masing Sulaiman Abda, Muklis Mukhtar dan Tgk Faisal Amin. Ketiga anggota dewan yang berasal dari fraksi berbeda ini dihadapan para pengunjuk rasa mengatakan bahwa apa yang dirasakan oleh para pengunjuk rasa sama dengan yang anggota dewan rasakan.
Bahkan menurut Muklis Mukhtar dewan telah membentuk pansus untuk menindaklanjuti laporan dari masyarakat tentang adanya penyimpangan dalam pengelolaan dana kemanusiaan oleh BRR NAD-Nias.
Lebih lanjut Muklis menyebutkan bahwa penyimpangan yang terjadi di BRR NAD-Nias tidak akan terkejar oleh politik maupun hukum karena BRR memang sudah didesign sedemikian rupa dimana didalamnya ada Kapolda, Kajati, Pangdam, Ketua DPRA bahkan Menko Polhukam.
Padahal, kata Muklis, jika BRR di Aceh gagal maka hancurlah Aceh ini. Disebutkan ketika pemerintah dan anggota dewan di Aceh pernah tidak lagi mendapat kepercayaan dari masyarakat, masyarakat menggantungkan harapan kepada para aktivis. Namun kini ketika para aktivis dan mantan anggota GAM sudah menjadi bagian dari BRR dan jika kerja BRR ternyata gagal, maka sudah tidak ada lagi yang bisa masyarakat Aceh percayai. Untuk itu Muklis menyatakan sepakat dengan para mahasiswa agar BRR diaudit oleh auditor internasional.
Sementara itu Tgk Faisal Amin mengatakan, jika dengan adanya BRR membuat situasi makin kacau maka lebih baik BRR dibubarkan dan tugas-tugasnya diserahkan kepada (diberdayakan) dinas-dinas yang ada sehingga semua kegiatan yang dilakukan dapat lebih mudah diawasi oleh DPRA.
ALEE dalam pernyataan sikap yang ditandatangani oleh Irwansyah Putra Psa menyebutkan, sumber dana kemanusiaan untuk Aceh-Nias yang dikelola BRR bukan saja bersumber dari APBN, tetapi juga merupakan bantuan Negara-negara lain, yang berbentuk moratorium, hibah, komitmen bilateral dan multilateral. Karena itu bukan hanya pemerintah, donor juga mempunyai hak untuk mengetahui keberadaan dana kemanusiaan itu tepat sasaran. Keberadaan internasional menjadi penting untuk menjaga kepercayaan dunia terhadap komitmen pemerintah dalam menjaga dana tersebut bebas dari korupsi dan penyimpangan, jika pemerintah tidak dapat menjaga kepercayaan ini, maka kita khawatir berimbas pada black campaign dunia terhadap Indonesia.
Disebutkan, audit oleh BPK RI terhadap BRR yang dilakukan selama ini hanya sebatas pada pengelolaan anggaran saja, sementara itu, proyek BRR menjadi terabaikan dalam proses audit, sehingga hasil audit BPK terhadap BRR masih perlu ditinjau ulang. Untuk itu mereka mendesak agar pengauditan yang dilakukan terhadap BRR dilakukan secara investigative.
Keberadaan Dewan Pengawas dan Satuan Anti Korupsi (SAK) BRR merupakan stuktural BRR sendiri yang sudah pasti bekerja untuk kepentingan BRR sehingga wajar saja jika selama ini Dewan Pengawas dan SAK tidak pernah mempublikasi penyimpangan BRR, lembaga itu hanya bagian dari politik pencitraan untuk melindungi BRR dari pengawasan lembaga independent. Untuk itu mereka mendesak SAK BRR segera dibubarkan dengan membentuk SAK yang independent diluar struktural BRR.
“Tidak hanya media cetak dan elektronik, tetapi LSM anti korupsi juga hampir hampir saban hari memberitakan indikasi penyimpangan BRR namun kasus-kasus itu tidak pernah diproses secara hukum yang berlaku kecuali setelah muncul reaksi masyarakat dan didorong LSM anti korupsi,” kata Irwansyah seraya menambahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga impotent untuk mengawasi dana-dana BRR, KPK sepertinya tidak berani memberantas korupsi di BRR, terbukti dengan banyaknya indikasi penyimpangan tetapi KPK tidak bertindak apa-apa.
Image Aceh dengan label korupsi dimana setelah ditangkapnya tokoh-tokoh Aceh yang terlibat korupsi, disatu sisi baik, namun, katanya, ini juga telah membunuh karakter masyarakat Aceh dari kepercayaan dunia, padahal daerah-daerah lain di Indonesia juga tidak terlepas dari dari kasus-kasus korupsi. Tetapi image ini terus dibangun oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab agar kepercayaan dunia terhadap Aceh hilang, maka untuk membuktikan kebenaran image tersebut kehadiran BPK Internasional adalah cara merubah paradigma itu.
“Ini berarti kami sebagai bagian dari masyarakat Aceh yang terdiri dari akademisi, generasi muda, mahasiswa dan rakyat tidak mentolelir terhadap budaya korup,” tulis pernyataan sikap tersebut.
Pengelola dana kemanusiaan di Aceh bukan hanya di BRR tetapi juga NGO lokal dan internasional, sebab itu pengawasan terhadap dana kemanusiaan harus dilakukan oleh komunitas internasional, sehingga setiap penyimpangan dana kemanusiaan yang dilakukan BRR dan NGO diketahui oleh donor yakni masyarakat negara yang memberikan bantuan.
Jika proses audit terhadap dana kemanusiaan tidak segera dilakukan maka kepercayaan rakyat dan internasional terhadap pemerintah menjadi dilematis, ini tentu akan berimbas pada nama baik masyarakat Indonesia di mata Internasional. (Mahdi)
#

Artikel Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan disini,
Terimakasih atas Kunjungan anda

TENTANG YANG POENYA BLOG INI

Foto saya
Banda Aceh, Aceh, Indonesia
Dilahirkan di Gampong Pedalaman Aceh, Menempuh Pendidikan Sampai Tingkat SMA disana, Pindah dan Merantau Ke Banda Aceh. Saat ini berdomisi di Jakarta. Berminat pada kajian isu-isu sosial, ekonomi, politik. Bercita-cita Menjadi Pengusaha sekaligus politisi profesional Yang Senantiasa Akan Berjuang Untuk Mewujudkan Peradaban Yang Lebih Baik.