Google Search

Gerakan Mahasiswa Aceh Hari ini

Kekuatan gerakan mahasiswa dan rakyat Indonesia tahun 1998 dengan isu reformasi terbukti mampu menumbangkan kekuasaan orde baru yang telah bercokol selama 32 tahun dan telah menguasi berbagasi sistem pemerintahan. Lebih lanjut reformasi juga memberi ruang bagi dicabutnya status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) setelah mendapat protes keras mahasiswa Aceh dengan berbagai aksi demonstrasi. Pasca DOM perkembangan demokrasi Aceh mulai terbuka lebar, semangat anti Indonesia menjadi trand, sehingga memudah GAM untuk tumbuh dan mendapat simpati rakyat, isu pelanggaran HAM mulai disuarakan dimana-mana. Mahasiswa Aceh menjadi motor penggerak aksi, supaya dibentuk pengadilan HAM serta menuntut para pelaku diseret kepengadilan.


Pasca reformasi setidaknya telah muncul + 80 buffer aksi (tesis Taufiq Abdullah) di Aceh yang mengkonstrasikan melakukan gerakan social kerakyatan. Namun, sampai sekarang buffer aksi tersebut tidak mampu lagi bertahan karena isu-isu yang diangkat lebih bersifat temporer atas kejadian yang terjadi dalam masyarakat. Saat ini hanya SIRA dan SMUR yang masih mampu menunjukkan eksistensinya. Padahal organisasi seperti KARMA dan FARMIDIA merupakan organ gerakan yang lebih dulu dikenal ketimbang SIRA dan SMUR. Disisi lain, keberadaan SIRA dan SMUR tidak dapat diharapkan lagi sebagai organisasi Independen karena secara organisasi mereka akan terlibat dalam politik praktis dengan membentuk partasi sendiri.

Keberadaan buffer aksi yang peduli Aceh mengalami pasang surut, diberlakukannya Darurat Militer (DM) medio Mei 2007 membuat banyak aktivis organ gerakan memilih calling down atau hengkang keluar negeri untuk menghindari tindakan represif TNI/POLRI. Akibatnya isu-isu kerakyatan tenggelam dalam ruang konflik bersenjata RI-GAM. Disisi lain mahasiswa cenderung terjebak dalam isu syariat islam yang digulirkan Jakarta melalui UU No.18 Tahun 2001 sebagai upaya membendung derasnya tuntutan merdeka dan referendum yang dituntut rakyat Aceh. Sehingga organisasi yang muncul kepermukaan adalah organisasi yang berbasis islam, organisasi ini dapat eksis karena mendapat dukungan pemerintah Jakarta serta aparat keamanan. Berkembanglah KAMMI dan LDK, bahkan sekarang telah menguasi hampir 60% organisasi internal kemahasiswaan. Pengurus PEMA Unsyiah dan BEMA IAIN disinyalir banyak pihak diisi oleh anggota KAMMI dan LDK, padahal organisisi tersebut merupakan support unit partai PKS, sehingga gerakan mahasiswa terkontaminasi oleh politik PKS.

KAMMI, LDK, PII, HMI, PMII dan organisasi lainnya yang berbasis nasional juga tidak berkotek atas tindakan represif TNI/Polri terhadap rakyat. Pembunuhan dan pelanggaran HAM terjadi dimana-mana, berita kematian menghiasi media massa saban hari. Penyelesaian Aceh dengan cara damai dan demokratis yang didukung oleh masyarakat sipil telah ditutup rapat-rapat oleh pemerintahan Megawati. Oranisasi berbasis nasional cenderung terjebak pada agenda-agenda nasional yang tidak memberi makna apa-apa bagi bagi penyelesaian konflik Aceh.

26 Desember 2004 gempa berkekuatan 8,9 scala richter dan gelombang tsunami meluluh lantakkan Aceh. Diperkirakan 200 ribu orang menjadi korban bencana tersebut, Aceh telah menjadi pemberitaan dunia. Simpati masyarakat internasional terhadap Aceh telah mendorong RI-GAM melakukan perjanjian damai di helsinky pada tanggal 15 agustus 2005 yang di fasilitasi CMI. Dengan ditandatanganinya perjanjian antar para pihak tersebut berarti Aceh memasuki dalam babak baru.

Sebagai tindak lanjut dari MoU helsinky dibentuklah Aceh Monitoring Mission (AMM) yang memiliki tugas memonitoring implementasi perjanjian para pihak. Melalui MoU, geo-politik di Aceh telah berubah, UUPA pun telah disahkan sebagai konsekuensi perjanjian damai itu sendiri. Namun banyak pihak, terutama sipil Aceh menilai UUPA belum sesuai dengan MoU secara substantif, bahkan 16 klausul UUPA dianggap bertentangan dengan semangat MoU. Gelombang protes terhadap ketidaksesuaian UUPA dengan MoU dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2006, gerakan ini dimotori oleh SIRA. Gerakan ini menuntut revisi UUPA sesuai dengan MoU Helsinky.

Walaupun demikian, kondisi Aceh yang kondusif merupakan sesuatu yang patut disyukuri oleh semua elemen, hal tersebut merupakan salah satu factor yang dapat mendukung bagi jaminan demokratisasi dan gerakan sipil. Geliat gerakan mahasiswa pun mulai mencuat kepermukaan. Namun, gerakan tersebut belum mampu memberi pengaruh dalam ranah publik Aceh, dan kalaupun ada hanya sebatas seremonial dan riak-riak atas situasi temporer. Seperti disebut dalam Laporan Conflic and Reasearch World Bank telah muncul 2 organ gerakan melawan BRR terjadi bulan Mei-April2007. Pada tanggal 9 April, ratusan pengungsi dipimpin oleh Forak (Forum Antar Barak) berdemonstrasi di BRR, meminta supaya rumah dibangun secepatnya dan juga meminta bantuan modal untuk usaha kecil, beasiswa, dan fasilitas kesehatan. Hari berikutnya demonstrasi berlanjut dengan mosi tidak percaya terhadap BRR, yang ditanda tangani dengan darah oleh Panji Utomo, pemimpin Forak. Demonstrasi kedua terjadi pada tanggal 19 April di gedung DPRD di Banda Aceh oleh Alee (Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Aceh), menuntut agar BRR di-audit oleh auditor internasional. [1]

Disamping itu dalam issue perdamaian juga telah mencuat nama Mahasiswa Peduli Perdamaian Aceh (MaPPA) yang melakukan demonstrasi dengan Komite Mahasiswa untuk Perdamaian dan Keadilan (KoMPAK) sebagai buffernya yang melakukan aksi pada tanggal 14 agustus 2007 setelah sebelumnya membuat konsolidasi yang di ikuti oleh 90% lembaga internal kemahasiswaan. Tindak lanjut dari dua kegiatan tersebut MaPPA telah membuat road show ke-semua lembaga internal mahasiswa se aceh pada tanggal 02 – 12 septembe 2007. hasilnya menunjukkan bahwa geliat mahasiswa untuk melakukan perubahan mulai menggeliat, namun gerakan-gerakan mahasiswa tersebut belum mampu mengaktualisasikan dirinya kedalam ranah public diakibatkan oleh 2 faktor yaitu; pertama kurangnya pemahaman mahasiswa terhadap isu-isu kerakyatan sebagai akibat dari tidak berjalannya budaya diskusi kritis dikampus, kedua budaya materialisme pasca kehadiran NGO telah membuat aktivis kampus memilih NGO ketimbang organisasi kemahasiswaan dan ketiga infiltrasi partai PKS dalam organisasi seperti LDK dan KAMMI.

Adanya semangat membentuk wadah konsolidasi mahasiswa se-Aceh merupakan nilai tambah bagi ikhtiar memunculkan semangat pergerakan mahasiswa. Wacana tentang ikatan mahasiswa Aceh yang memfokuskan diri pada isu-isu Aceh telah dalam 2 forum yang dibuat MaPPA, forum pertama yaitu pada saat konsolidasi mahasiswa se-Aceh yang dilaksanakan pada tanggal 12 – 13 Agustus 2007, kedua pada saat road show ke lembaga internal kampus se-aceh pada tanggal 02 -12 September 2007. dalam pertemuan MaPPA dengan BEM se-Aceh merekomendasikan dibentuknya wadah konsolidasi mahasiswa aceh yang memfokuskan diri pada isu perdamaian dan demokrasi, namun sebelum menuju deklarasi organisasi dimaksud diperlukan training (capacity building) untuk penguatan kapasitas anggota organisasi. Untuk MaPPA menilai penting dan strategis untuk dilaksanakan seminar dan workshop ini sebagai upaya meretas jalan secara alami untuk membentuk wadah konsolidasi mahasiswa se-Aceh
[1] Conflicanddevelopmentreasearch.org #

Artikel Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan disini,
Terimakasih atas Kunjungan anda

TENTANG YANG POENYA BLOG INI

Foto saya
Banda Aceh, Aceh, Indonesia
Dilahirkan di Gampong Pedalaman Aceh, Menempuh Pendidikan Sampai Tingkat SMA disana, Pindah dan Merantau Ke Banda Aceh. Saat ini berdomisi di Jakarta. Berminat pada kajian isu-isu sosial, ekonomi, politik. Bercita-cita Menjadi Pengusaha sekaligus politisi profesional Yang Senantiasa Akan Berjuang Untuk Mewujudkan Peradaban Yang Lebih Baik.