Google Search

TANDA SERU POLITIK ACEH

Oleh Irwansyah Psa
my-archive
Kalau orang tua dulu sering mengatakan perihal politik dengan istilah “Lam Politék – na nyang anggôk na nyang asék, na nyang tulak na nyang tarék” (dalam politik, ada yang setuju ada yang tidak, ada yang mendorong ada pula yang menyeretnya). Inilah saat yang tepat untuk menangkap sinyal dari “ajaran politik” para orang tua terdahulu, bahwa politik memang penuh pro-kontra, mendukung dan melawan selalu ada, tergantung waktu dan kepentingan dibaliknya.

Situasi tarik-ulur politik ini mengemuka di Aceh sejak Mahkamah Konsitusi (MK) mengeluarkan fatwa yang membolehkan calon perseorangan ikut serta dalam pilkada Aceh. Adanya calon perseorangan dalam pemilukada tidak begitu saja diterima oleh semua pihak, terbukti sebanyak 40 anggota DPR Aceh menyatakan menolak kehadirannya dalam qanun.

Dan sampai saat ini qanun “panas” tanpa calon independen tersebut masih dalam perdebatan sejumlah politisi dan praktisi hukum di Aceh bahkan nasional. Dilain pihak, Gubernur Aceh juga tidak mau menandatanginya, padahal qanun tersebut sudah diputuskan dalam suatu rapat paripurna DPRA. Pun demikian sejumlah balon Gubernur, Bupati dan walikota sudah banyak yang mendaftarkan dirinya ke Komisi Pemilihan Indepen (KIP).

Lika-liku perdebatan calon independen sebenarnya sudah diawali ketika pengajuan jucial reviuw atas pasal 256 UUPA oleh sejumlah kalangan dan diterima MK karena bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan kala itu, Gubernur Irwandi termasuk orang yang menenantang calon perseorangan, walaupun sekarang sudah berbalik arah sebagai pendukung. Memang begitulah politik, bertindak sesuai kepentingannya. Berbaliknya sikap irwandi tersebut disinyalir karena Partai Aceh (PA) tidak menjadikannya sebagai calon gubernur pada pemilu mendatang, tetapi memilih Zaini-Muzakir. Tentunya PA punya alasan tersendiri, mengapa tidak mencalonkan Irwandi.

Kubu yang paling ngotot mempertahan pasal 256 UUPA adalah Fraksi PA. Ditandai dengan sikap dan pernyataan-pernyataan para politisinya di berbagai media massa. Sikap Fraksi PA bertambah kuat, saat disokong oleh sejumlah elit partai nasional yang terindikasi takut berseberangan politik dengan PA, sehingga “terjerumus” kedalam sekenario PA untuk “menelikung” hukum yang sudah dikeluarkan putusan finalnya oleh MK. Konon lagi sikap abstain Fraksi PD, Golkar, PKS serta dua orang Anggota DPRA dari PAN, sehingga terkesan membiarkan terhadap upaya “melawan MK” yang dilakukan Fraksi PA bersama bebera anggota Fraksi PAN.

PA dalam hal politik boleh dikatakan sebagai salah satu pihak stakeholder dalam perdamaian, yang hampir dua tahun menguasai parlemen, bahkan di beberapa Kabupaten, seperti Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Timur dan Aceh Utara, PA menempati posisi single majority (mayoritas tunggal). Namun, kekuasaan yang hampir mutlak tersebut ternyata belum membawa perubahan yang signifikan. Legislatif PA belum menampakkan perbedaannya dengan aktifis partai lain, terjebak pada rutinitas pemerintahan biasa, sebatas mengurus dua hal. Yakni tampôk (kekuasaan) dan tumpôk (uang). Dikatakan demikian karena, banyak politisi PA terlihat lebih senang berdebat hal ikhwal politik dalam artian kuasaan diberbagai media massa, ketimbang mengurusi persoalan yang terkait langsung dengan kesejahteraan.

Harus diakui memang, memperbandingkan kekuasaan ditangan PA dengan kekuasaan dibawah kuasa aktifis-aktifis partai dimasa lalu, juga tak jauh beda. Ambil saja kasus seperti di Aceh Utara misalnya, saat hasil migas berlimpah ruah, Kabupaten tersebut juga tak mampu diurus dengan baik oleh penguasanya. Pemimpin Aceh Utara kala itu, juga memiliki kesamaan dengan penguasa sekarang dalam hal sama-sama hanya berhasil “membiarkan” kemiskinan rakyat terus berlangsung.

Sebagai partai pemenang pemilu, PA juga belum menampakkan upayanya yang serius untuk menyusun suatu Aceh masa depan. Sebagaimana yg diajarkan Dr.Tgk. Hasan Ditiro sebagai “guru politik” GAM, dalam Bukunya “Atjeh Bak Mata Donja” memberikan penjelasan, – bahwa pertambahan penduduk disuatu daerah akan mengalami peningkatan dua kali lipat setiap 20 tahun sekali. Artinya, bila sekarang, tahun 2011 jumlah warga Aceh sebanyak 5,2 juta jiwa, maka tahun 2031 akan menjadi 10,4 juta, begitu seterusnya. Lebih lanjut, mendiang “Wali” menggugah kita tentang apa yang dipersiapkan untuk generasi Aceh mendatang? Sekarang saja dengan penduduk yang hanya 5,2 juta jiwa, rakyat masih hidup dalam apôh-apah (kesusahan), alôh-alah (terhimpit) rumoh tiréh (rumah bocor), hana buët dan hana pèng (tidak ada pekerjaan dan uang), , bahkan kita juga miris dengan kenyataan pahit, banyak masyarakat yang menjadi peminta-minta. Apa yang akan terjadi, saat rakyat Aceh bertambah ruah?

Kondisi diatas memaksa rakyat seperti penulis untuk mencecar, – sekaligus mengingatkan penguasa Aceh (eksekutif dan legislatif), seputar apa yang telah mereka rumuskan untuk kesejahteraan dan kemakmuran? Sebagaimana bangsa Amerika, Cina, Eropa dan negara-negara maju lainnya yang mempersiapkan tahapan masa depan mereka sejak se-abad yang lalu. Walhasil, jadilah sekarang mereka sebagai negara maju plus sejahtera.

Bagaimana pula, Pemerintah Aceh dibawah Gubernur Irwandi Yusuf hendak membawa Aceh ke depan pintu gerbang kemakmuran? seperti yang pernah ia digembar-gemborkan selama beberapa waktu dalam sebuah baliho didepan kantornya. Sementara kebijakan pemerintah yang dia bikin belum banyak yang berkorelasi untuk capaian masa depan yang sejahtera. Terkecuali hanya jeda menebang hutan, yang pelaksanaannya pun lebih banyak menghasilkan sidak dan sidak yang ujung-ujungnya meningkatkan jumlah masyarakat kecil yang ditangkap karena melakukan penebangan liar. Disamping itu juga hanya terlihat program JKA yang boleh dikatakan dirasakan manfaatnya oleh banyak orang, program tersebut telah ia digadang-gadangkan melalui spanduk dan baliho yang bahkan terkesan sebagai bentuk propaganda, – dan propaganda sangat mungkin terjadi, mengingat Irwandi Yusuf adalah juru propagandis  dimasa konflik dan dalam hal ini dapat dibaca sebagai kepentingan menaikkan citranya sebagai kandidat Gubernur, padahal sebagaimana pemberitaan diberbagai media, pelaksanaan JKA kerap memunculkan masalah dilapangan.

Pemimpin Alternatif
Dalam Natural of law, berlaku hukum “bahwa ketika individu atau kelompok, dihadapkan pada kondisi yang tidak menguntungkan, dan kemudian kondisi itu menjadi laten, maka yang diharapakan adalah kebaruan (alternatif)”. Alternatif mestilah beda. Jikalau tak beda, ia tidak mungkin diterima sebagai pilihan lain. Jelasnya, alternatif bukanlah tokoh masa lalu. Apalagi berasal dari kelompok atau partai yang selama ini telah kenyang dalam kekuasaan, dan pernah tercatat gagal melakukan perubahan ketika menjadi pemimpin suatu wilayah atau intitusi tertentu di Aceh. 

Pemimpin alternatif yang dibutuhkan adalah yang lahir dari aktor politik bermoral, dan “setia” kepada Aceh, karena itu alternatif diartikan sebagai seorang atau kelompok yang dengan pesonanya mampu memberi jawaban bagi akar masalah Aceh dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya, sekaligus mampu menegaskan benang merah hubungan antara “Aceh – Aceh” serta “Aceh – Jakarta” secara “elegant”, santun dan beradab. Disamping itu juga memiliki kapasitas “keulamaaan” sehingga dapat diterima oleh ulama untuk mengembangkan syariat islam secara damai.

Kriteria lain dari pemimpin alternatif adalah mampu memaknai sejarah, sebab sebagian besar rakyat yang telah lama “dirasuki” virus sejarah membutuhkan muara penyaluran dimasa kini. Tidak boleh tidak, pemimpin alternatif adalah orang yang aktif terlibat konflik, dan masih diterima secara luas oleh “para pelaku” konflik dan secara luas juga disenangi masyarakat.

Dalam hal kesejahteraan, sang alternatif adalah dia yang memiliki patron untuk membangun ekonomi dibidang pertanian, perikanan, perkebunan dan industri dari hulu sampai hilir, karena hasil alam tersebut mampu menghidupi seluruh rakyat, walaupun tanpa migas, dan yang paling penting adalah memiliki kecakapan untuk menjembati ruang politik yang menyelamatkan dan mendamaikan, sehingga mampu menahkodai Aceh keluar dari masa transisi dengan selamat untuk selamanya.

Rakyat Aceh tentu menanti, pemimpinan alternatif segera hadir. Maka dari itu calon pemimpin alternatif tidak boleh dihambat oleh siapapun termasuk oleh partai politik yang memiliki kekuasaan “perahu” bagi lahirnya pemimpin jenis ini, sebab ia akan menggerus laju kesejarahan Aceh, – sekaligus mengkooptasi rakyat ke jurang no-peureumay seupay alias apatis, – dan kalau sekali saja wabah apatis melanda negeri ini, maka tamatlah Aceh!

Penulis Adalah Aktifis Gerakan Muda Pro Perubahan (GMPP)

Ditulis : pada pertengahan juli 2011

#

Artikel Terkait



1 comments:

zulhadi mengatakan...

menarik....
cara mengusir anjing, pakai kata "cis"
cara memanggil anjing, dgn cara bersiul

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan disini,
Terimakasih atas Kunjungan anda

TENTANG YANG POENYA BLOG INI

Foto saya
Banda Aceh, Aceh, Indonesia
Dilahirkan di Gampong Pedalaman Aceh, Menempuh Pendidikan Sampai Tingkat SMA disana, Pindah dan Merantau Ke Banda Aceh. Saat ini berdomisi di Jakarta. Berminat pada kajian isu-isu sosial, ekonomi, politik. Bercita-cita Menjadi Pengusaha sekaligus politisi profesional Yang Senantiasa Akan Berjuang Untuk Mewujudkan Peradaban Yang Lebih Baik.