Google Search

HABIS MIGAS TERBITLAH MISKIN


(Tragedi Aceh Utara) 


“HABIS manis, sepah dibuang”. Pepatah tersebut layak untuk menggambarkan kondisi rakyat Aceh Utara. Dikenal kaya migas, namun miskin pembangunan. Sebut saja jalan line-pipa sebagai contoh, kini jalan menuju salah satu ladang produksi ExxonMobil Oil Indonesia (MOI) tersebut sudah tak diurus lagi dan berlubang di sana-sini. Potret kehidupan warga sekitar juga tak kalah memilukan, mereka “dipaksa” tinggal di bawah rumah kumuh beratapkan daun rumbia, padahal ada PT. Arun dan MOI yang sudah puluhan tahun menikmati renyahnya hasil alam Aceh Utara. Memang, produksi PT. Arun beberapa tahun lalu mulai menurun, namun hal tersebut tentu tidak semerta-merta membuat mereka begitu saja boleh mengabaikan tanggungjawab sosialnya.

Dalam hal penempatan tenaga kerja, selama ini pertambangan raksasa itu hanya memberi formasi rendahan kepada pekerja lokal, seperti satpam, supir, petugas kebersihan dll. Untuk jabatan strategis dalam perusahaan hampir semuanya dijabat oleh orang dari luar Aceh. Terlebih lagi dampak lingkungan, masyarakat harus terusik oleh gangguan kebisingan dan gemuruh mesin-mesin industri atau kenaikan suhu udara yang menyengat, baru-baru ini limbah beracun Exxon berupa merkuri juga “menyerang” warga sekitar.
Tak kurang dari 30 tahun, PT. Arun dan perusahaan lain telah menyedot sumberdaya alam di Aceh, namun sampai saat ini publik Aceh belum mengetahui angka pasti jumlah produksi mereka, tentang hal ini sebenarnya sudah dipertanyakan Pemerintah Aceh yang meminta pemerintah pusat transparan soal produksi migas Aceh, suara LSM juga tak terhitung lagi jumlahnya yang mempertanyakan hal senada. Karena itu perjuangan untuk meminta transparansi kepada perusahaan pertambangan yang beroperasi di Aceh mesti terus di suarakan, termasuk bagi daerah yang baru-baru ini memberikan izin pertambangan, kalau tidak ingin bernasib sama seperti Aceh Utara.

Kita akui memang, “melawan” hegemoni perusahaan multinasional bukanlah pekerjaan yang mudah, jangankan Pemerintah Aceh yang notabene-nya hanyalah pemerintah setingkat provinsi, Pemerintah Indonesia saja belum pernah menang melawan yang namanya perusahaan “raksasa”. Tengok, bagaimana lemahnya posisi tawar Pemerintah Indonesia, yang hendak memberi keadilan bagi masyarakat Sidoarjo yang terkena dampak lumpur Lapindo, dan sampai sekarang nasib korban Lapindo masih terkatung-katung tak menentu.
Sebagaimana undang-undang mengatur, bahwa eksploitasi migas sebelum UU-PA tidak perlu pertimbangan Pemerintah Aceh, untuk bagi hasilnya apalagi sejak Otonomi Daerah tahun 1999 diberlakukan, barulah Pemerintah Daerah mendapatkan dana otonomi, dan bupati sebagai kepala daerah menjadi “raja kecil” yang memiliki wewenang mengurus rumah tangga sendiri, termasuk di dalamnya Pemkab Aceh Utara. Sejak itu Aceh Utara menjadi kabupaten kaya dengan APBD yang hampir mencapai dua triliunan rupiah.


Punya uang banyak tak selamanya menjamin makmur, bila tak pandai mengurus salah-salah bisa membawa petaka. Ini pula yang menimpa Aceh Utara. Tanah yang kaya, tapi tak berbanding lurus dengan kemakmuran rakyatnya. Bupati berganti bupati tapi kemelaratan rakyat tak kunjung usai. Rakyat miskin terus bertambah setiap tahunnya, bahkan data terakhir BPS, warga miskin mencapai angka yang cukup mengejutkan yakni 70,73 persen dari 527.226 penduduk. Harusnya dengan dana triliunan rupiah yang mengalir ke dalam kas daerah, Aceh Utara telah menjadi satu-satunya Kabupaten di Aceh yang memiliki infrastruktur pembangunan paling baik dan paling lengkap. Nyatanya, jalan di perdesaan masih banyak yang beraspal ‘ek leumo”, ribuan hektare lahan pertanian terlantar, dan yang paling tragis adalah 18.212 warga “dibiarkan” buta huruf alias tak bisa tulis-baca.

Harus diakui, sejak tahun 2000 konflik Aceh memang sedang panas-panasnya, para pejabat kerap menjadikan konflik sebagai kambing hitam atas gagalnya pembangunan. Sungguh tak bisa diterima, kalau hanya konflik semata-mata menjadi alasan, sebab daerah seperti Bireuen yang mengalami konflik serupa, dengan APBD yang lebih rendah, terbukti lebih maju dari Aceh Utara. Karena itu, saya memandang bahwa penggunaan alasan konflik hanyalah “bualan” para pejabat untuk menutupi ketidakmampuan mereka. Toh, agenda pembangunan tidak selamanya harus berhubungan langsung dengan pertikaian bersenjata, katakan saja soal membangun sumberdaya manusia, walaupun konflik, kita tentu masih bisa mengirimkan generasi muda untuk belajar ke luar negeri atau keluar daerah, supaya saat konflik berakhir Aceh Utara sudah punya sumber daya manusia yang handal, namun hal tersebut juga tak dilakukan pemerintah yang berkuasa kala itu.

Konflik telah berlalu, hambatan serius untuk membangun juga tak ada lagi. Pemimpin baru sudah dipilih, mereka dipercaya karena “awak droe”, dan dianggap amanah untuk menitip harapan. Namun empat tahun sudah memimpin, rakyat belum merasakan adanya terobosan baru. Kepemimpinan mereka masih mengikuti jejak pemerintahan lama,--sebatas mengurus agenda ceremonial dan birokrasi pemerintahan. Padahal tak lama lagi era-migas akan berakhir, prediksi pengamat Aceh Utara akan bangkrut pasca itu, bahkan dalam dua tahun ini sudah “megap-megap” mengurus gaji aparaturnya, untuk gaji keuchik saja “mengemis” kepada Pemerintah Aceh. Kita tentu tak bisa bayangkan bagaimana jadinya daerah itu bila tak segera memiliki sumber pendapatan baru, sebab selama ini kabupaten tersebut hanya mengandalkan migas sebagai sumber utama.


Sebenarnya kalau pemimpin Aceh Utara “cerdas” dalam memanfaatkan dana yang melimpah, tentu sejumlah kenyataan di atas tak perlu terjadi. Terlebih, tanah yang subur dan laut yang luas membujur sepanjang pantai adalah potensi alam yang menjanjikan, selama ini potensi tersebut belum dikelola secara serius, bertahun-tahun para penguasa Aceh Utara tidak mau ambil pusing untuk memanfaatkan potensi ini. Mereka lebih suka jalan pintas,--mengambil apa yang ada di depan mata,--tanpa berpikir untuk meninggalkan sesuatu yang bermakna bagi generasinya di hari esok.
Era-migas akan berakhir tahun 2014,--di mana kontrak PT Arun usai sudah. Semestinya dengan sisa waktu yang ada, pemanfaatan dana migas harus fokus pada sektor yang potensial, seperti pertanian dan perikanan. Selama satu sampai dua tahun pertama cukup dengan membangun irigasi yang menjangkau seluruh sawah, menambah jalan perdesaan sehingga lahan-lahan rakyat mudah untuk dijangkau serta memodernisasikan nelayan tradisional. Untuk tahun berikutnya tinggal mengarahkan petani dan nelayan pada satu atau dua jenis sentra produksi unggulan yang disiapkan pemerintah, seperti program “jangung-isasi” yang pernah dilakukan Fadel Muhammad di Gorontalo, Fadel hanya butuh waktu enam bulan dan terbukti berhasil mengurangi kemiskinan warganya. 

Jika hal ini dilakukan serius,--tanpa perlu investor asing, industri-industri kecil milik masyarakat juga akan tumbuh dengan sendirinya, dan sebagaimana pengalaman di negara-negara maju, sebuah industri hadir dengan sendirinya tanpa perlu dibangun pemerintah, setelah hasil produksi pertanian masyarakat tidak mampu ditampung lagi secara tradisional. Saat pertanian dan perikanan berkembang, saya berkeyakinan APBK Aceh Utara tidak lagi bergantung pada migas semata. Kedua sektor tersebut bukan saja dapat menghidupi rakyat, tetapi dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang pada akhirnya mampu menggaji abdi negara di kabupaten itu.

Kepada siapa saja yang akan terpilih pada pilkada ke depan, hendaknya dapat menjadikan pertanian dan perikanan sebagai fokus utama pembangunan. Cukup sudah Aceh Utara bertahun-tahun salah diurus pemimpinnya, semoga ke depan kesalahan itu tak terulang lagi.

* Penulis adalah Ketua Ikatan Pemuda Aceh Utara (IPAU)-Banda Aceh
   tulisan ini telah di muat di Harian Serambi Indonesia, Edisi Senin, 07 Februari 2011
#

Artikel Terkait



2 comments:

Review mengatakan...

Salam kenal, nice blog kawan.

Irwansyah Psa mengatakan...

trimakasih..
InsyaAllah akan lebih baik dihari depan

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan disini,
Terimakasih atas Kunjungan anda

TENTANG YANG POENYA BLOG INI

Foto saya
Banda Aceh, Aceh, Indonesia
Dilahirkan di Gampong Pedalaman Aceh, Menempuh Pendidikan Sampai Tingkat SMA disana, Pindah dan Merantau Ke Banda Aceh. Saat ini berdomisi di Jakarta. Berminat pada kajian isu-isu sosial, ekonomi, politik. Bercita-cita Menjadi Pengusaha sekaligus politisi profesional Yang Senantiasa Akan Berjuang Untuk Mewujudkan Peradaban Yang Lebih Baik.