Google Search

Ketika Jerman Kalah, Dukung Spanyol. Oportuniskah Politik itu?

Menyimak pertandingan Jerman vs Spanyol, dengan hasil 1-0 untuk kemenangan David Villa bersama rekan-rekannya. Rasanya mengejutkan banyak orang, saya sendiri antara percaya dan tidak. Sebagai pendukung Der Panzer sebutan untuk tim Jerman, saya sedih benar menyaksikan sendiri kekalahan Klose cs. Antara marah, palak, dan sesak, apalagi kalau jantung, so pasti detaknya keras bangetlah. Ya, begitulah kira-kira padanan kata yang tepat untuk saya lukiskan luapan perasaan yang aku alami menjelang wasit meniupkan peluit, pertanda pertandingan itu segera usai. Huh, rasanya dunia ini seperti mau kiamat saja.
Diluar dari konteks pendukung, menurut saya perseteruan dua raksasa sepakbola Eropa yang berlangsung Rabu (08/07/10) dini hari waktu Aceh itu, layak untuk kita perbincangkan kembali.  Pelatih Jerman Joachim Leow yang biasanya mengatur siasa perang, dengan mengandalkan trio Lucas Podolski, Miroslav Klose dan Thomas Mueller sebagai bomber dimuka lawan, terpaksa “gigit jari” untuk Mueller, sang pelatih harus puas memberi tempat duduk di luar arena buat “anak muda kesayangannya” itu lantaran akumulasi dua kartu kuning yang menderanya tempo hari.  Tidak tampilnya Mueller di lini depan adalah penyumbang saham yang membuat matisurinya ekspansi Jerman ke negeri Tango. Banyak kesempatan untuk menyarangkan si Jabulani (bola) ke gawang yang di kawal Iker Casillas, nyatanya kandas begitu saja di depan kotak finalti. Cerita tentang keampuhan trio Podolsky, Klose dan Mueller, sudah banyak  terekam selama piala dunia 2010 berlangsung. Argentina dan Inggris sudah mengakui hal itu, pukulan telak 4-1 untuk Inggris dan skor 4-0 buat Lionel Messi dkk adalah bukti sejarah keganasan trio milik tim negara bekas nazi itu.

Terlepas Jerman sudah kalah dari spanyol, tapi siapapun tentu akan mengatakan Jerman adalah skuad tangguh,---dipenuhi pemain muda dengan postur tinggi-besar, tim manapun pasti sulit menembus blockade pertahanan mereka. Terbukti, berkali-kali gerakan David Villa dan kawan-kawannya tidak pernah sampai pada radius yang membahayakan bagi gawang Jerman yang di awaki Manuel Neuer. Perlu diingat, gol satu-satunya tim Tango bukan diperoleh lewat perjuangan tengah lapangan, melainkan umpan dari tendangan sudut. Fakta itu, sudah lebih dari cukup untuk menyimpulkan betapa kuatnya lini bawah Timnas Jerman 2010. Pun demikian, hasil akhir yang yang tidak menguntungkan bagi “anak-anak negeri Hitler” rasanya pledoi saya untuk tim itu pastinya akan dianggap sebagai “waham” dan “maksa” untuk bela-belain Jerman yang sudah jelas-jelas kalah.

Sekali lagi saya katakan, sumpah deh! Saya ada di pihak Der Panzer,--- yang rela memasang kumis Hitler sampai sekarang, walau tim itu sudah membikin aku malu. Sekarang, saya sedang mendidik diri untuk untuk sportif saja, berlapang dada, sepahit apapun kenyatannya, dengan kata lain, siap tidak siap saya harus mengatakan oh, Spain, You Are Best Team”. Disamping itu, saya juga manusia sosial, yang hidup dalam ruang politik-pragmatis, karena itu saya akan tempatkan diri sebagai politisi. Jadi, walau dalam suasana Jerman yang sedang dirundung duka, pastinya saya tak perlu melempem pula. Biarlah anggota Lahm saja yang menangis, dan saya pastikan tidak. Sebagai bukti tak meratap, apalagi melempem, tadi pagi saya sudah minta seorang anggota politik koalisi saya selama ini untuk mencari kostum merah Spanyol guna ku pakai sewaktu nonton bareng di partai final nantinya.  Naif sekali bukan? Tapi itulah dunia politik, mau naïf atau tidak. Mesti “dipersetankan”.

Selama berinteraksi dalam dunia politik, saya telah diperkenalkan suatu ilmu, bahwa bersikap pro maupun kontra untuk tim olahraga hanyalah alat jua,---yang maknanya just as “podium”, tempat memperkenalkan diri. Just it,---tidak lebih.  Maka, jangan heran bila kemarin, disaat Jerman dielu-elukan publik, ada politisi yang menempatkan dirinya sebagai pendukung, tapi esok hari anda temukan ia bersorak-sorai mendukung Spanyol, kenyataan itu sudah lumrah terjadi dalam “dunia kami”,--politik. Hemat saya, bahwa sikap mengubah-ubah dukungan di even ini tak selamanya perlu dipandang sinis, apalagi kalau ditujukan untuk men-judge seorang politisi dengen lebel oportunis atau ovonturier.  Sebab, bagi politisi yang “paten” alias tak awam,---sudah sangat jelas aturan mainnya, sikap di olahraga hanya alat politik belaka,--tahu sendirikan fungsi alat? dipakai kapan perlu, bila tak perlu, tempatnya di dalam gudang. Ya sudah, tak perlu meratap, memang demikianlah alat-alat diperlakukan oleh seluruh manusia.

Memang benar, sikap seorang di ranah olahraga sah-sah saja dinilai, apalagi kalau peruntukannya adalah dalam rangka menakar record politik seorang. Namun yang harus diingat, penilaian itu sangat tidak tepat disandangkan kepada “politisi yang sadar posisi”. Pemberian lebel oportunis atau lainnya untuk “politisi yang sadar posisi” tidak akan mencerminkan  nilai apapun yang berguna untuk mengindikasi prilaku politiknya di kemudian hari.  Namun begitu, penggunaan lebel oportunis ini, mesti dikecualikan bagi mereka-mereka yang baru terjun kedalam ranah politik praktis.---sikapnya yang berubah-ubah, menurut saya sudah boleh di pakai untuk mengukur ada-tidaknya kosistensi mereka, sebab politisi yang masih “hijau”,--sudah barang tentu masih awam, mereka belum begitu paham-paham kalilah tentang apa dan bagaimana menempatkan unsur politik di setiap ruang kehidupan,---bahkan sepakbola. Ringkasnya untuk mereka yang masih baru berpolitik, sikap inkonsistensi itu walaupun dalam urusan olahraga, sudah patut dipakai bagi tujuan pemetaan untuk sikap-sikap mereka dilain waktu. Saya ingatkan teman-teman, berhati-hatilah terhadap mereka yang mendua sikap.

Saya yakin, anda pasti melihat ada saja pemimpin negara yang datang menyaksikan pertandingan secara langsung.  Hadirnya seorang pimpinan negara ketempat itu, sedikit tidaknya ada “terselip” tujuan menghindari kritik dalam negeri sekaligus bermaksud menanam citra politik bahwa si pemimpin peduli kepada nasib olahraga dan atlet. Padahal kalau kita telusuri lebih mendalam, saya yakin akan dengan mudah kita temui kenyataan, kehadiran mereka “it just a lips service”.

Oya, Sebelum menutup ulasan ini, saya mengajak kamu semua back to pokok masalah aja ya? Yaitu pertandingan Jerman vs Spanyol. Bagaimana teman-teman melihat Jerman tanpa Mueller, atau apa prediksi kalian bila saja Mueller bermain? Tak usah dijawab aja ya? Kan kalian tidak saya beri ruang mengutak-atik tulisan ini. hehehe… lagi pula untuk hal itu, saya yakin kalian pasti setuju dengan pendapatku, yang akan mengatakan “kalau pemain muda itu dapat bermain, pastilah Jerman akan menang, dan menjadi lawan Belanda di final. Tapi, karena kenyataannya tidak demikian, bahwa Spanyol jualah yang berhak menjadi lawan Belanda di Final Piala Dunia 2010 ini, Karena itu, ayo dukung Spanyol.  Akhirulkalam, walaupun tim saya kalah, saya tentu tidak akan melewatkan pertandingan Belanda Vs Spanyol. Saya yakin, Spanyol akan mencatat sejarah baru, yakni menjadi Juara Dunia untuk kali pertama.
#

Artikel Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan disini,
Terimakasih atas Kunjungan anda

TENTANG YANG POENYA BLOG INI

Foto saya
Banda Aceh, Aceh, Indonesia
Dilahirkan di Gampong Pedalaman Aceh, Menempuh Pendidikan Sampai Tingkat SMA disana, Pindah dan Merantau Ke Banda Aceh. Saat ini berdomisi di Jakarta. Berminat pada kajian isu-isu sosial, ekonomi, politik. Bercita-cita Menjadi Pengusaha sekaligus politisi profesional Yang Senantiasa Akan Berjuang Untuk Mewujudkan Peradaban Yang Lebih Baik.