Google Search

Ingatan Masa Kecil dan Kisah Mukim Yang Di Batalkan Karena Tuduhan Ijazah Palsu

Ingatan masa kecil

Kaget dan terheyak, itulah kesan pertama ketika aku membaca koran Serambi dengan judul "Dituduh Gunakan Ijazah Palsu; Imum Mukim Terpilih Dibatalkan". Berita tersebut mengetengahkan pembahasannya mengenai pembatalan Surat Keputusan Pengangkatan Hamdani (39),- warga Matang Seuke Pulot, sebagai Imum Mukim Jambo Aye Tengah oleh Bupati Aceh Utara. Surat pembatalan Hamdani itu di teken Sekda Aceh Utara Syahbuddin Usman.

Saya sendiri lahir di Matang Seuke Pulot, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sumber penghidupannya utamanya dari usaha ekonomi Ayah dan kegiatan bertani Kakek. Ayah dan Kakekku di era 1980-an sampai tahun 2000-an pernah menjabat sebagai Mukim Jambo Aye Tengah, setidaknya berita itu telah menyentuh rasa pribadi saya. Apalagi, sudah hampir tiga tahun terakhir ini, saya belum lagi pulang kampung, kalaupun ada, cuma sampai di Panton Labu, tempat Ibu dan Adikku sekarang menetap.

Dalam suasana penuh tanya tentang kasus itu, kembali aku mengutak-atik koran, sembari membaca berita lainnya. Tanpa sadar, memori tentang masa-masa kecil ku bangkit kepermukaan, aku jadi ingat seperti apa Irwansyah kecil menghabiskan separuh usia remajanya di sebuah desa yang letaknya 20 km dari Pusat Kota Kecamatan Tanah Jambo Aye. Itulah ingatan masa kecil,--kata psikolog ingatan masa lalu akan selalu hadir dalam kehidupan setiap orang, ketika ia dihadapkan pada suatu kejadian atau kondisi sosial yang menggiringnya kearah sana. Ya, mungkin saja kasus pembatalan SK Mukim inilah yang pemicu ingatanku ke masa lalu.

Saya juga tak bisa menolak untuk mengucurkan air mata saat membayangkan nasib Mawa Hendi,--seorang janda miskin yang sampai sekarang masih hidup susah, dan aku belum bisa membantunya sampai sekarang. Dia adalah guru ngaji pertama yang mengajarkan aku membaca Al-quran, berkat Wa Hendi saya mampu membaca Qur-an dengan cepat, melampaui anak-anak seusiaku. Walaupun masih dalam kadar tajwid  yang boleh dikata sangat minim, aku bisa membaca seluruh isi kitabullah itu sebelum orang tua ku memasukkan ke sekolah MIN, di Lhok Bbeuringen. Aku jadi tertawa sendiri, kalau membayangkan betapa sombongnya Irwan kecil di hadapan kawan-kawannya, dengan angkuh ia menghina teman main sekampungnya yang belum bisa mengaji.

Di Matang Seuke Pulot, Aku tinggal bersama Abusyik, Nenek, Ibu, Ayah serta ditemani oleh delapan orang anak dari saudara-saudara kakekku. Rumah kami adalah rumah yang paling besar dari sejumlah rumah lainnya. Absuyik,--panggilan akrab ku untuk kakek, sengaja membuat rumah dekat Menasah, kata orang-orang kampungku, dia dulinya seorang imam meunasah, sebelum menjadi Geuchik, dan terakhir ia dipercayakan menjadi Mukim. Kakekku Menjadi Mukim selama dua periode berturut-turut sebelum Ayahku pulang dan menggantikannya.Waktu itu, Ayah telah ia menyelesaikan studi sarjananya di Fakultas Dakwah  IAIN Ar-Raniry.  Kakek membuat rumah dekat meunasah, supaya dia tidak jauh-jauh untuk datang memimpin shalat magrib dan shalat-shalat lainnya, begitulah Abusyik punya maksud, ketika aku mempertanyakan mengapa rumah kami dibuat dekat meunasah, padahal dari sisi kebisingan letak rumah yang berdekatan dengan aktivitas publik sungguh tak nyaman. 

Ketika Ayahku menjadi Mukim di Jambo Aye Tengah, aku masih berumur 9 tahun, walaupun samar, tentu aku dapat dengan jelas mengenali orang-orang yang datang. Di Rumah kami hampir setiap hari di penuhi oleh Geuchik, para pemuka agama dan tokoh-tokoh kampung , tak lupa juga banyak orang-orang kampung plus  para sepupu ayahku yang datang sekedar berbicara masalah keluarga. Betapa rumah kami ramai di kunjungi orang-orang dengan berbagai urusan, ada yang melapor kasus keluarga, ada yang mengurus urusan tanahnya, atau ada yang sekedar bersilaturrahmi.

Waktu itu Aceh sedang dilanda konflik (DOM), aku yang masih remaja mencoba sedikit untuk memahami keadaan, antara sedikit paham dan tidak. Pernah ada kisah mengerikan di rumah kami. Ceritanya begini;--suatu malam, dan aku belum tidur, sejumlah orang bersenjata datang ke rumah kami, aku pikir mereka adalah Aparat Indonesia. Ibu, Nenek dan Seluruh penghuni rumah ketakutan. Menurut desas-desus yang beredar di masyarakat saat itu, kalau ada aparat yang datang kerumah malam-malam, bisa dipastikan besoknya pasti ada diantara anggota keluarga yang "dijemput",---istilah yang digunakan masyarakat untuk sebutan orang yang ditangkap.
Ternyata aku salah, baru sekarang aku paham bahwa mereka adalah pasukan mujahid, GAM. ya dialah Tgk Yusuf Ali,--Gubernur GAM Pasee saat itu datang ke rumah kami, dengan sejumlah pasukan dan bedil seadanya,--aku disuruh masuk kamar. Katanya ini pembicaraan orang tua, anak-anak tak boleh ikut.  Aku memang tidak tau apa yang mereka bicarakan dengan Ayah dan Abusyik, tapi setelah mereka pulang, besok pagi aku di ingatkan berkali-kali oleh Ayahku untuk tidak membicarakan hal ini kepada siapapun,, katanya berbahaya.

Dalam rentang masa-masa sebelum Ayahku masih kuliah, banyak orang di kampung kami yang ditangkap aparat Indonesia, sebut saja Pak Saleh misalnya, ia Geuchik Gampong Matang Seuke Pulot saat itu,--sekarang sudah Almarhum, beliau syahid di Aceh Timur saat konflik GAM-RI fase 98-2003. Pak Saleh boleh dibilang cukup akrab dengan keluarga kami, bahkan ia sungguh berjasa dalam hidupku, beliau adalah orang yang mengajariku berbahasa Indonesia,--ku dengar waktu itu dialah satu-satunya orang kampung, diluar keluarga kami yang dapat berbahasa Indonesia. Aku berterima kasih padanya, semoga amal ibadahnya diterima Allah, beliau adalah salah seorang yang membentuk kepribadianku.
Kenangan ku dengan Pak Saleh boleh kitakan banyak, aku hampir setiap hari bermain dengan anak-anaknya, namun ada sesuatu memori yang paling ku ingat dari semua kenanganku tentang Almarhum. Satu hari, sewaktu aku datang ke rumahnya, seperti biasa,--sewaktu pulang sekolah dan selesai mengaji aku memang sering menyambangi rumah beliau, sekedar berdiskusi atau basa-basa basi. Hari itu, aku penasaran banget dengan penjara, aku tanya "pakiban, menyo tanyoe udep dalam glap pak? (bagaimana kondisi orang yang hidup dalam penjara, pak)", dengan nada berseloroh, Pak Saleh bilang, hidup di penjara enak, tidak perlu bekerja, setiap hari dikasih buruti (nasi dan roti bahasa Indonesianya) cuma-cuma,--sampai-sampai aku juga kepingin dipenjara. Namun, tiga tahun kemudian setelah saya bersekolah SMP baru mulai paham, ternyata yang dimaksud dengan buruti oleh Pak Saleh adalah kayu Buruti,--sejenis balok kayu, berdiameter 4 cm.  Berarti hampir semua orang dipenjara nasibnya demikian tragis.
Setelah beranjak remaja, saya baru paham,--ternyata bukan hanya Pak Saleh saja sebagai satu-satunya orang yang ditangkap aparat pemerintah di kampung kami, tetapi masih banyak lagi warga Matang Seuke Pulot yang ditangkap, bahkan ada yang meninggal dalam penjara dan kuburnya tak diketahui sampai sekarang. Yang aku dengar, mereka dituduh terlibat GPK (Gerakan Pengacau Keamanan),--sebutan Aparat penyokong Orde Baru untuk orang GAM. Entah benar atau tidak mereka terlibat GAM? wallahu'alam bisshawab, saya tak tahu persis. Lagi pula saat DOM berlaku, orang-orang Aceh yang ditangkap tak diproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, apalagi kalau pengadilan.  

Bersambung......
#

Artikel Terkait



0 comments:

Posting Komentar

Tinggalkan Pesan disini,
Terimakasih atas Kunjungan anda

TENTANG YANG POENYA BLOG INI

Foto saya
Banda Aceh, Aceh, Indonesia
Dilahirkan di Gampong Pedalaman Aceh, Menempuh Pendidikan Sampai Tingkat SMA disana, Pindah dan Merantau Ke Banda Aceh. Saat ini berdomisi di Jakarta. Berminat pada kajian isu-isu sosial, ekonomi, politik. Bercita-cita Menjadi Pengusaha sekaligus politisi profesional Yang Senantiasa Akan Berjuang Untuk Mewujudkan Peradaban Yang Lebih Baik.